Semangkok Mie Ayam Bakso

Mie ayam bakso ini rasanya standar, tapi ini pertama kalinya setelah dua tahun lebih tidak bisa makan sendirian. Ternyata menyenangkan bisa makan sendiri sesekali.

Malam ini melihat foto ini kembali rasanya sedih. Tidak pernah sebelumnya saya berpikir semangkok mie ayam bakso bisa membuat sebahagia ini.

Tadi pagi saya pergi dari rumah, meninggalkan suami dan Haura Hanan sekitar pukul setengah sembilan. Ada hal penting yang musti dilakukan sampai pukul dua siang nanti dan harus dilakukan sendiri. Ini pertama kalinya, setelah bertahun-tahun lamanya, pergi sendiri dengan durasi waktu yang cukup lama. Awal perjalanan, tentu saya mengkhawatirkan banyak hal. Gimana suami nanti ya? Dia belum pernah ditinggal bersama Haura Hanan selama itu, gimana nanti makan siangnya, gimana tidur siangnya, rewel nggak Hanan tidur tanpa nenen, dan banyak kekhawatiran lain sepanjang perjalanan menuju lokasi. Tiba di lokasi, rasa khawatir sedikit berkurang karena saya harus fokus dengan acara. Kemudian saya bertemu banyak orang, saya berbincang dengan satu orang saja dari banyaknya orang di sana. Satu orang yang saya ajak ngobrol dari awal kegiatan sampai pulang. Rasanya saya sudah benar-benar lupa bagaimana caranya berinteraksi dengan orang lain, bicara serba kagok, diksi yang dipakai payah, entah berapa kali juga saya salah ucap. Untungnya dia bisa mafhum, dia banyak merespons baik meski kalau dipikir-pikir lagi tadi sebenarnya saya ngomong opo sih?

Setelah selesai, saya bergegas pulang dan tak lupa mengingat satu kalimat dari suami, “kalau habis acara nanti mau pergi jalan-jalan atau beli makan, lakuin aja ya, nggak papa banget”

Jadilah sepanjang perjalanan pulang saya banyak berpikir, enaknya pergi kemana ya? Lalu teringat ramen kesukaan suami searah dengan jalur pulang ke rumah, “Oke, habis ini makan ramen ah, mumpung mendung juga cuacanya.”

Sampailah di depan kedai ramen, berhenti sebentar kemudian berpikir. “Sayang nggak sih kalo kesini sendirian aja nggak ngajak suami sama Haura Hanan? Tapi ini mumpung sepi lho, kalo malam pasti waiting list, tapi masak kesini nggak sama keluarga sih? Tapi pengin banget makan semangkok ramen ini sendirian, pake cabe sama garlic paste yang banyak, pasti enak banget.”

Ujung-ujungnya bablas perkara, “Eh hujannya udah makin deres. Udahlah kapan-kapan lagi aja daripada nanti kelamaan sampai rumahnya,” kemudian merutuki diri sendiri sepanjang perjalanan pulang karena harusnya tadi makan ramen aja. Karena capek menyesal terus, akhirnya kepikiranlah mie ayam bakso langganan dekat rumah. Nggak papa bukan ramen, yang penting sama-sama mie dan berkuah, saya coba menghibur diri. Beruntung saat sampai di warung, tidak ada pelanggan lain, sambil ambil posisi duduk saya langsung pesan mie ayam bakso dan es teh. Sembari menunggu saya menikmati suara gerimis hujan di depan warung.

Mie ayam bakso akhirnya tersaji, tanpa pikir lama saya langsung makan dengan cepat karena selama menikmati suara hujan makin kepikiran sama kondisi suami dan Haura Hanan di rumah. Meski makan cepat, saya amat menikmati momen makan sendirian tadi. Rasanya ternyata gini ya, bisa makan sendirian lagi, sesuatu yang dulu sebelum nikah biasa banget dilakukan dan jarang disyukuri. Sepanjang perjalanan menuju rumah rasanya bahagia sekali.

Baru saja buka pintu rumah, langsung terdengar suara Haura, “Umi datang umi datang,” dan isakan tangis Hanan. Kembali ke realita, tapi kali ini energi saya rasanya terisi full, jadi meski pusing efek kurang tidur dan kebanyakan mikir saat kegiatan, saya nggak sampai ngereog di depan Haura Hanan.

💁🏻‍♂️ “Enak juga ya bisa begini, abang di rumah sama anak-anak, adek ngelakuin apa yang adek mau sendiri,”

💁🏻‍♀️ “Iya enak bangeeet, kapan-kapan lagi ya,”

🙋🏻‍♂️ “Boleh, diagendain aja, dua minggu sekali gitu,”

🤦🏻‍♀️ “Yaah, kirain bakal bilang seminggu sekali.”

Satu pemikiran pada “Semangkok Mie Ayam Bakso

Tinggalkan komentar